396 km #part 1

Langit sedang cantik-cantiknya saat dia menggamit pelan tanganku, lalu kami bersisian menyusuri jembatan bekas rel kereta api yang sudah lama mati. Seperti senja-senja yang lalu, di sepanjang rel kereta api ini kami tidak terlalu banyak mengobrol seperti sepasang kekasih di luar sana, hanya sesekali saja. Karena kami memang lebih suka begini, menikmati setiap detik yang kami miliki dengan bergenggam tangan dan memandangi setiap pergerakan matahari sambil sesekali berpandangan. Itulah bahasa yang kami punya. Bahasa tatap. Tapi kami selalu tau, dan seolah saling bicara. Terdengar aneh, tapi memang begitulah nyatanya. 

https://www.google.co.id/search?q=jembatan+rel+kereta+bandung-ciwidey&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwiorN2dkozYAhVCLY8KHY4xBP8Q_AUICigB&biw=1366&bih=656#imgrc=p-OqwOBfsWhdFM:

Tiga tahun bersama tak lantas membuat kami merasa bebas untuk melakukan apapun satu sama lain. Di era milenial ini, mungkin kami satu-satunya sepasang kekasih yang dimulai dengan pertanyaan "maukah kau menjadi kekasihku?", mungkin juga kami satu-satunya yang tidak saling mempertontonkan kebersamaan kami di media sosial, dan mungkin kami juga satu-satunya yang tidak pernah lebih dari sekadar bergenggaman tangan. Entahlah, kami lebih terlihat seperti sepasang kekasih dari era 80-an yang tersesat di era milenial, tapi kami menyukainya. Rasa cinta sudah membuat kami merasa cukup.

Namanya Bhumi. Laki-laki yang 3 tahun lalu kuketahui beberapa kali membuntutiku dari jauh di sepanjang jalan sepulang sekolah, yang tadinya kupikir dia anggota komplotan penculik yang menyamar menjadi siswa di sekolahku. Suatu kali di bulan Agustus, sepulang sekolah di jalan yang sama seperti biasanya, aku mempercepat langkahku dan bersembunyi di balik tembok di persimpangan jalan. Dia berjalan melewati persimpangan dan terlihat mencari-cari aku sambil tersengal-sengal, lalu dari belakang aku meneriakinya, "Siapa kamu?!", dia yang terkejut tak langsung menjawabku. "Kenapa kamu selalu mengikutiku?! Ha?!" teriakku sambil memberanikan diri, jika dia benar-benar penculik bisa mati aku. Dia masih tersengal-sengal sambil membungkuk, "Bukan.." katanya. Mendengar suaranya membuatku sedikit iba, tapi aku tidak boleh begitu saja mempercayainya, mungkin saja dia hanya berpura-pura. 
Aku menatapnya sinis, "Lalu?" tanyaku. 
"Bhumi.." katanya sambil menyodorkan tangannya. Melihat aku yang tidak membalas ajakan untuk berjabat tangan dia malah tersenyum, "Tidak apa-apa. Toh aku sudah tahu namamu" katanya.
Aku menatapnya aneh, "Bagaimana kamu bisa tahu namaku?"
"Memangnya kenapa tidak bisa?", yang ditanya malah balik bertanya. 
"Kenapa kamu selalu mengikutiku?" tanyaku lagi.
"Untuk memastikan kamu sampai di rumah dengan selamat" kali ini dia menjawab.
"Tidak perlu. Aku tidak pernah membayarmu untuk itu" kataku ketus.
"Aku juga tidak perlu dibayar untuk melakukan itu." 
"Lalu?" tanyaku lagi.
Kali ini dia tidak menjawab pertanyaan ketusku. Lama menunggu sesuatu keluar dari mulutnya membuatku tidak sabar lalu memutuskan untuk segera pulang. 
"Tunggu.." katanya setelah aku berjalan beberapa langkah. Aku tetap berjalan dan tidak berniat untuk berhenti, apalagi menengok kerahnya. Biar tahu rasa.
"Aku bukan penculik.." teriaknya.
Jadi dia tahu kalau selama ini aku mengira dia penculik???


bersambung...

Komentar

Postingan Populer