396 km #part2

Setelah kejadian sore itu, aku tidak lagi melihat dia mengikutiku sepulang sekolah. Entah karena dia marah sebab aku tidak menghiraukannya waktu itu, atau strategi bersembunyinya yang semakin lihai. Dasar aneh. 
Seperti biasa, aku pulang jalan kaki. Sendiri. Kenapa jalan kaki? karena selain jarak sekolah dan rumah yang tidak terlalu jauh, aku merasa masih terlalu muda untuk mengeluh kelelahan. Dan kenapa sendiri? karena aku malas jika harus banyak mengobrol sambil berjalan. Tidak, aku memang malas mengobrol.
"Dorrr!!!", seseorang mengagetkanku dari balik dinding di persimpangan. Aku tersentak, aku tidak suka dikejutkan dan aku tidak suka kejutan. Rupanya dia. 
"Kenapa lama sekali? Aku sudah menunggu lama di sini." katanya.
"Aku tidak menyuruhmu menungguku." jawabku.
"Tapi aku ingin."
"Tapi itu tidak perlu. Sudah bagus satu minggu ini kamu tidak mengikutiku lagi." kataku ketus.
"Kamu menghitungnya? rindu ya diikuti setiap pulang sekolah?", dia memasang tampang menyebalkannya. Ge er sekali dia.
 "Sudah jangan mengikutiku lagi. Aku mau pulang!"jawabku kesal. Aku berlalu, tapi dia masih saja mengikutiku. Aku menengok ke belakang lalu menatapnya sinis, "Kenapa masih mengikutiku? Ada apa lagi?!".
"Ge er kamu.. siapa yang mau mengikutimu." katanya, ahh aku benci tampangnya yang menyebalkan itu. "Karena tadi kamu menolak kuikuti, aku akan pergi ke tempat yang indah sebagai gantinya." sambungnya. Tempat yang indah? memangnya di sini ada tempat yang indah?. Mungkin saat itu dia melihat dahiku berkerut, lalu bertanya "Kenapa? Pasti kamu tidak pernah ya menemukan tempat yang indah di sini?" Aku menggeleng. Setahuku, di sekitar sini tidak ada tempat yang bisa dikategorikan indah, sejauh ini yang kulihat hanya bangunan-bangunan yang berjajar tidak rapi. Sebenarnya ada pegunungan, tapi itupun jauh dari sini.
"Mau ikut kesana?" tanyanya. Aku tidak menjawab, dia lantas menarik tanganku lalu berlari. Mau tidak mau akupun ikut berlari, tanganku sudah terlanjur dia genggam. Erat sekali.
Setelah cukup lama berlari, kamipun berhenti. Aku masih tersengal saat dia melepaskan genggaman tangannya.
"Ini kan jembatan tua bekas rel kereta api?", aku mendekatinya yang entah sedang memandang apa.
"Memangnya kenapa kalau ini jembatan tua bekas rel kereta api? Segala sesuatu itu punya sisi cantiknya sendiri. Lihat saja sebentar lagi, malah bisa jadi kamu yang akan mengkategorikannya dalam 7 keajaiban dunia", dia terkekeh, aku memukul lengannya padahal aku tidak kesal.
"Begini-begini aku juga pernah ke tempat-tempat indah..", aku menyebutkan beberapa tempat yang pernah aku kunjungi saat liburan bersama keluarga.
"Ahh, itu terlalu biasa" katanya, "Kenapa kamu tidak mencoba melihat sisi indah dari sekelilingmu?" dia tersenyum.
"Caranya?" tanyaku.
"Mmm, kamu cukup meyakini bahwa segala sesuatu itu punya sisi cantiknya masing-masing. everything has its own beauty.", dia menatapku yakin. Aku membalas tatapannya seperti sedang mencari-cari sesuatu yang tersimpan di dalam sana, lalu tersadar.


"Lihat itu.." dia menunjuk langit yang kemerahan dengan separuh matahari yang mulai layu. Kami bungkam selama beberapa saat, sibuk dengan ketenangan masing-masing. Dan asal dia tahu, ini adalah senjaku yang paling hangat.
"Sekarang kamu tahu kan alasan kenapa tadi kita harus lari?", tanyanya tanpa menatapku sama sekali. Aku mengangguk. Ya, aku tahu. Keindahan yang cuma sebentar ini tidak bisa menunggu kita.
Dia berdehem, "Sudah gelap, mau kuantar pulang?".
Kali ini aku tidak menolaknya, aku mengangguk pelan.
Kami tidak banyak bicara sepanjang jalan pulang, "Terimakasih ya.." kataku sesampainya di depan gerbang rumah. Dia hanya mengangguk dan tersenyum. "Aku pulang.." katanya lalu berbalik.
Aku menatap punggungnya yang mulai menjauh. Yang bulan Agustus lalu mengaku bukan penculik, hari ini malah menculik.


bersambung...

Komentar

Postingan Populer